Kamis, 03 Juni 2010

jual beli

PEMBAHASAN

A. Pengertian jual beli

Secara etimologis jual beli berarti pertukaran mutlaq, jual beli berasal dari bahasa arab al-ba’i “jual”dan As-Syira’ “beli” penggunaanya disamakan antara keduanya. Dua kata tersebut memiliki pengertian lafadz yang sama dan pengertian yang berbeda. Menurut Sayid Sabiq “jual beli” adalah pertukaran harta tertentu dengan harta lain berdasarkan keridhaan antara keduanya [1].Dalam bukunya Al-Jaziri dikatakan bahwa menjual berate mempertukarkan sesuatu dengan sesuatu. Menukarkan barang dengan barang menurut bahasa disebut menjual, sebagaimana dengan uang.

Dalam bukunya Hendi Suhendi istilah jual beli sama dengan perdagangan yang berarti al-bai at-tijarah, dan al Mubadalah , sebagaimana firman Allah surat Al-Fatir : 29

Artinya: “ mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi “.

Dalam buku Sulaiman Rasyid jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad) , sebagaimana dalam firman Allah

Al- Baqarah : 275

Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beiu dan mengharamkan riba”.

Jual beli menurut ulama’ Malikiyah ada dua macam, yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli yang bersifat khusus. Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad yang mengikat dua belah pihak. Tukar-menukar yaitu salah satu pihak menyerahkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak lain. Dan sesuatu yang bukan manfaat yaitu, bahwa benda yang ditukarkan adalah dzat (berbentuk), ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.

Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan mas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika, tidak merupakan utang baik barang itu berada dihadapan si pembeli maupun tidak, barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu seperti salam.[2]

B. Rukun dan syarat jual beli

1. Rukun jual beli

Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab kabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan objek akad. Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan kabul dilakukan, sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan (keridhoan).[3]

Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan pendapat antara ulama’ hanafiyah dan jumhur ulama’. Menurut ulama’ hanafiyah rukun jual beli ada satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qobul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut mereka yang menjadi rukun jual beli adalah kerelaan antara kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli.

Akan tetapi, jumhur ulama’ menyatakan bahwa rukun jual beli ada empat[4] yaitu:

  1. Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli)
  2. 000Ada shigot (lafal ilab dan qobul)
  3. Ada barang yang dibeli
  4. Ada nilai tukar pembeli barang.

2. Syarat barang yang diperjualbelikan

Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan adalah:

  1. Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. Misalnya di sebuah toko, karena tidak mungkin toko itu memajang barang dagang semuanya, maka sebagaian diletakkan di gudang atau masih di pabrik, tetapi secara meyakinkan barang itu boleh dihadirkan sesuai dengan persetujuan pembeli dan penjual.
  2. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
  3. Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki oleh seseorang tidak boleh dijualbelikan, seperti ikan di laut, emas dalam tanah.
  4. Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.

C. Macam-macam jual beli yang terlarang

Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnnya, jual beli ada dua macam: jual beli yang dilarang oleh agama dan batal hukumnya, dan jual beli yang dilarang oleh agama, tapi sah hukumnya (orang yang melakukannya mendapat dosa).

1. Jual beli yang dilarang oleh agama dan batal hukumnya adalah sebagai berikut:

a. Barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, berhala, bangkai dan khamer, Rasulullah Saw. Bersabda: “Dari Jahir r.a Rasulullah Saw. bersabda, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkai, babi, dan berhala”(Riwayat Bukhori dan Muslim).

b. Jual beli madhamin ialah menjual sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seeker domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh turunan. Jual beli ini haram hukumnya karena Rasulullah Saw. bersabda: “Dari Ibnu Umar r.a berkata; Rasulullah Saw. telah melarang menjual mani binatang” (Riwayat Bukhori).

c. Jual beli malaqih, ialah menjual janin binatang yang masih berada dalam perut induknya. Jual beli seperti ini dilarang, karena barangnya belum ada dan tidak tampak, juga Rasulullah Saw. bersabda: “Dari Ibnu Umar r.a Rasulullah Saw. telah melarang penjualan sesuatu yang masih dalam kandungan induknya” (Riwayat Bukhori dan Muslim).

d. Jual beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pas untuk dipanen, seperti menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil, dan yang lainnya.

e. Jual beli dengan muhaqallah, maksud muhaqallah disini ialah menjual tanam-tanaman yang masih diladang atau di sawah. Hal ini dilarang karena ada persangkaan riba di dalamnya.

f. Jual beli dengan muammassah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh, misalnya seseorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang orang yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan kemungkinan akan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.

g. Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli secara lempar-melempar, seperti seseoarang berkata, “lemparkan kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku”. Setelah terjadi lempar-melempar, terjadilah jual beli. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab dan kabul

h. Jual beli dengan muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering, seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah, sedangkan ukurannya dengan dikilo sehingga akan merugikan pemilik padi kering. Hal ini dilarang oleh rosulullah saw .dengan sabdanya: “Dari Anas r.a, ia berkata; Rasulullah Saw. melarang jual beli muhaqallah, mukhadharah, mulammassah, munabazah dan muzabanah” (Riwayat Bukhori).

i. Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjual belikan. Menurut Syafi’i penjualan seperti ini mengandung dua arti, yang pertama seperti seseorang berkata “kujual buku ini seharga $10 dengan tunai atau $15 dengan cara utang”. Arti kedua ialah seperti seseorang berkata “Aku jual buku ini kepadamu dengan syarat kamu harus menjual tasmu kepadaku”. Rasulullah Saw bersabda: “Dari Abi Hurairah, ia berkata; Rasulullah Saw. bersabda, barang siapa yang menjual dengan dua harga dalam satu penjualan barang, maka baginya ada kerugian atau riba” (Riwayat Bukhori).

j. Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul), yaitu jual beli dimana barang akan dijual apabila ada hal lain sebagai syarat, seperti “Saya jual rumahku yang butut ini kepadamu dengan syarat kamu mau menjual mobilmu kepadaku”.

k. Jual beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi penipuan. Seperti penjual ikan yang masih didalam kolam atau menjual kacang tanah yang atasnya kelihatan bagus tapi dibawahnya jelek. Rasulullah bersabda: “Janganlah kamu membeli ikan di dalam air, karena jual beli seperti itu termasuk gharar, alias nipu” (Riwayat Ahmad).

l. Jual beli dengan mengecualikan sebagian harta yang di jual. Rasulullah Saw. bersabda: “Rasulullah melarang jual beli dengan muhaqallah, mudzabanah, dan yang dikecualikan, kecuali bila ditentukan” (Riwayat Nasai).

m. Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar. Hal ini menentukan kurangnya saling percaya antara penjual dan pembeli. Rasulullah Saw. melarang jual beli makanan yang dua kali ditakar, dengan takaran penjual dan takaran pembeli (Riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni).

2. Jual beli yang dilarang oleh agama, tetapi sah hukumnya (orang yang melakukan nya mendapat dosa). Jual beli tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk ke pasar untuk membeli benda-bendanya dengan harga yang semurah-murahnya , sebelum mereka tahu harga pasaran, kemudian ia jual dengan harga yang setinggi- tingginya. Perbuatan ini sering terjadi pasar-pasar yang berlokasi di daerah perbatasan antara kota dan kampung. Tapi bila orang kampung sudah mengetahui harga pasaran, jual beli sepertiini tidak apa-apa. Rasulullah Saw bersabda:

“Tidak boleh menjualkan orang hadir (orang di kota ) barang orang dusun (baru datang )” (Riwayat Bukhori dan Muslim).

b. Menawar barang yang sedang ditawar orang lain, seperti seseorang berkata, “Tolaklah harga tawarannya itu, nanti aku yang membeli dengan harga yang lebih mahal.”. hal ini dilarang karena akan menyakitkan orang lain .rasulullah Saw.bersabda:

Tidak boleh seseorang menawar diatas tawaran saudaranya”(Riwayat Bukhori dan Muslim).

c. Jual beli dengan Najasyi, ialah seseorang menambah atau melebihi harga temannya dengan maksud memancing-mancing orang agar orang itu mau membeli barang kawannya. Rasulullah Saw bersabda: “Rasulullah Saw. telah melarang jual beli dengan najasyi” (Riwayat Bukhori dan Muslim).

d. Menjual diatas penjualan orang lain, umpamanya seseorang berkata: “Kembalikan saja barang itu kepada penjualnya, nanti barangku saja yang kau beli dengan harga yang lebih murah dari itu”. Rasulullah bersabda: “Rasulullah Saw. bersabda; seseorang tidak boleh menjual atas penjualan orang lain” (Riwayat Bukhori dan Muslim).

e. Membeli barang dengan yang jauh lebih mahal dari harga pasar, dengan tujuan agar orang lain tidak dapat membeli barang tersebut. (keterangan fiqh islam Mustafa Kama dan fiqh islam Sulaiman Rasyid).

f. Membeli barang yang ditahan agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal. Sedangkan masyarakat umum berhajat atau menginginkan barang tersebut. Sebab dilarang karena merusak ketentraman umum. Sabda Rasulullah Saw: “Tidak ada orang yang menahan barang kecuali orang-orang yang durhaka (salah)”.

g. Menjual suatu barang yang berguna untuk menjadi alat maksiat bagi yang membelinya. Firman Allah SAW (Al-Maidah:2).

h. Jual beli mengecoh, berarti bahwa dalam urusan jual beli itu ada kecohan, baik dari pihak pembeli maupun dari penjual, dalam barang atau ukurannya. Dalam hadits Rasulullah dijelaskan: Dari Abu Hurairah; Bahwasannya Rasulullah Saw, pernah melalui onggokan makanan yang bakal di jual, lantas beliau memasukkan tangan beliau ke dalam onggokan itu tiba-tiba jari beliau di dalamnya merabah yang basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu seraya berkata: Mengapakah ini? Jawab yang punya makanan: Basah karena hujan ya Rasulallah. Beliau bersabda: Mengapa tidak engkau taruh disebelah atas supaya dapat dilihat orang? Barang siapa yang mengecoh, maka ia bukan umatku. (Ruwayat Muslim).

Jual beli yang batal

Jual beli yang dikatakan sebagai jual beli yang batal apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli yang pada dasar dan sifatnya tidak disyari’atkan, seperti jual beli yang dilakukan oleh anak-anak, orang gila, atau barang yang dijual itu barang yang diharamkan syara’, seperti bangkai, darah, babi, dan khamr.

Jenis-jenis jual beli yang batil adalah:

  1. Jual beli sesuatu yang tidak ada. Misalnya, memperjualbelikan buah-buahan yang putiknya pun belum muncul di pohonnya atau anak sapi yang masih di perut ibunya.
  2. Menjual barang yang yang tidak boleh diserahkan kepada pada pembeli, seperti barang yang hilang atau burung piaraan yang lepas dan terbang di udara. Hukum ini disepakati oleh seluruh ulama’ fiqih dan termasuk dalam kategori bai’ al-garar (jual beli tipuan). Alasannya adalah hadist yang diriwayatkan Ahmad Ibnu Hanbal, Muslim, Abu Daud dan At-tirmiziyaitu: jangan kamu memebeli ikan di dalam air karena jual beli seperti ini adalah jual beli tipuan.
  3. Jual beli yang mengandug unsur penipuan, yang pada lahirnya baik tetapi ternyata di balik itu terdapat unsur-unsur penipuan. Misalnya memperjualbelikan kurma yang ditumpuk di atasnya bagus-bagus dan manis, tetapi ternyata di dalam tumpukan itu banyak terdapat yang busuk.
  4. Jual beli benda-benda yang najis. Seperti babi, khamr, bangkai, dan darah, karena semua itu dalam pandangan islam adalah najis dan tidak mengandung makna harta.

Menurut jumhur ulama’, termasuk dalam jual beli najis ini adalah mememperjualbelikan anjing, baik anjing yang dipersiapkan untuk menjaga rumah maupun untuk berburu. Karena Rosulullah bersabda:

Akan tetapi, ulama’ malikiyah memebolehkan memperjualbelikan anjing untuk menjaga rumah dan berburu, karena menurut mereka anjing menjaga rumah dan berburu bukanlah najis. Dengan alasan sabda Rosulullah yang menyatakan:

  1. Jual beli Al-‘arbun (jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian, pembeli membeli barang dan uangnya seharga barang barang diserahkan kepada penjual, dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju, maka jual beli sah tetapi jika pembeli tidak setuju dan barang dikembalikan, maka uang yang telah diberikan pada penjual, menjadi hibah bagi penjual). Alasannya Rasulullah Saw bersabda:

  1. Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak boleh dimiliki seseorang. Karena air yang tidak dimiliki seseorang merupakan hak bersama ummat manusia, dan tidak boleh diperjualbelikan. Hukum ini disepakati oleh jumhur ulama’ dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Haabilah, dengan alasan hadis Rasulullah Saw. Yang menyatakan:

Manusia itu berserikat dengan tiga hal, yaitu: air, api, dan rumput. (HR Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal)

Adapun sabda Rasulullah yang lain, yaitu:

Rasulullah SAW melarang memperjualbelikan kelebihan air. (HR Abu Daud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ibn Majah).

Akan tetapi , air sumur pribadi, menurut jumhur ulama’ boleh diperjualbelikan karena itu merupakan yang dimiliki pribadi berdasarkan usahanya sendiri.

Jual Beli Yang Fasid

Ulama’ hanafiyah memembedakan jual beli fasid dengan jual beli batal. Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait dengan barang yang dijualbelikan, maka hukumnya batal, seperti memperjualbelikan benda-benda haram (khamar, babi, dan darah). Sedangkan apabila kerusakan pada jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki, maka jual beli itu dinamakan fasid. Akan tetapi, jumhur ulama’, tidak membedakan jual beli yang fasid dengan jual beli yang batal. Menurut mereka jual beli itu terbagi dua, yaitu jual beli yang sahih dan jual beli yang batal. Yang apabila rukun dan syarat jual beli terpenuhi, maka jual beli itu sah. Sebaliknya, apabila salah satu rukun atau syarat jual beli itu tidak terpenuhi, maka jual beli itu batal.

Diantara jual beli yang fasid, menurut ulama’ Hanafiyah adalah:

a. Jual beli al-majhu l (benda atau barang yang secara global tidak diketahui), dengan syarat kemajhulannya itu bersifat menyeluruh. Akan tetapi, apabila ke-majhu’l-annya (ketidakjelasannya) itu sedikit, jual belinya sah, karena hal itu tidak membawa pada perselisihan. Misalnya seseorang membeli sebuah jam tangan merek Mido. Konsumen ini hanya mengetahui bahwa arloji itu asli pada bentuk dan mereknya. Akan tetapi mesin di dalam tidak ia ketahui. Apabila ternyata kemudian bentuk dan mereknya berbeda dengan mesin (bukan mesin aslinya), maka jual beli itu dinamakan fasid. Oleh sebab itu, Muhammad Abu Zahrah, pakar fiqih dari mesir, mengatakan bahwa untuk barang-barang elektronik dizaman sekarang, boleh termasuk jual beli fasi, apabila terdapat ke-majhu’l-annya yang sama sekalitidak diketahui oleh konsumen. Contoh jual beli yang mengandung unsur ke-majhu’lan adalah apabila seseorang ingin membeli sehelai baju dan konsumen ini meminta kepada penjual diambilkan tiga helai, dengan syarat mana yang disukai itu yang dibelinya. Dalam kasus ini sejak semula barang barang yang dipilih untuk dibeli belum jelas, karena yang dibeli hanya sehelai baju dari tiga contohyang diminta. Akan tetapi, para ulama’ fiqih membolehkan jual beli seperti itu, karena jual beli itu biasanya tidak membawa pertengkaran. Oleh sebab itu, ulama’ Hanafiyah mengatakan sebagai tolok ukur untuk unsur majhul itu diserahkan sepenuhnya kepada ‘urf (kebiasaan yang berlaku bagi pedagang dan komoditi itu).

Ke-majhulan itu disamping berkaitan dengan barang yang dibeli, boleh juga berkaitan dengan harga atau nilai tukar. Misalnya, nilai tukar itu palsu dan penjual tidak mengetahui unsur-unsur palsu dalam nilai tukar itu

b. Jual beli yang dikaitkan dengan syarat, seperti ucapan penjual kepada pembeli, “saya jual kereta saya ini pada engkau bulan depan setelah gajian”. Jual beli seperti ini batil menurut jumhur, dan fasid menurut ulama’ Hanafiyah. Menurut ulama Hanafiyah, jual beli ini dianggap sah pada saat syaratnya terpenuhi atau tenggang waktu yang disebutkan dalam akad jatuh tmpo. Artinya jual beli ini baru sah apabila masa yang ditentukan “bulan depan” itu telah jatuh tempo.

c. Menjual barang yang ghoib yang tidak dapat dihadirkan pada saat jual beli berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli. Ulama Malikiyah membolehkannya, apabila sifat-sifatnya disebutkan, dengan syarat sifat-sifat itu tidak dirubah sampai barang itu diserahkan. Sedangkan ulama Hanabila mengatakan bahwa jual beli seperti ini sah apabila pihak pembeli mempunyai hak khiyar (memilih), yaitu khiyar ru’yah. Ulama Syafi’iyah menyatakan jual beli ini batal secara mutlak.

d. Jual beli yang dilakukan oleh orang buta. Jumhur ulama menyatakan bahwa bahwa jual beli orang buta adalah sah apabila orang buta itu memiliki khiyar. Sedangkan ulama Syafi’iyah tidak membolehkan jual beli ini kecuali jika barang itu telah ia lihat sebelum ia buta.

e. Barter dengan barang yang diharamkan, umpamanya menjadikan barang-barang yang yang diharamkan sebagai harga, seperti babi, khamar, darah dan bangkai.

f. Jual beli ajal, misalnya seseorang menjual barangnya dengan harga Rp.100.000,- yang pembayarannya ditunda selama satu bulan, kemudian setelah penyerahan barang kepada pembeli, pemilik barang pertama membeli kembali barang itu dengan harga yang lebih rendah, seperti Rp.75.000,-, sehingga pembeli pertama tetap beruntung sebanyak Rp.25.000. jual beli seperti ini dikatakan fasid karena jual beli ini mennyerupai dengan riba. Akan tetapi, ulama Hanafiyah mengatakan apabila unsur yang membuat jual beli ini menjadi rusak dihilangkan, maka hukumnya sah.

g. Jual beli anggur dan buah-buahan lain yang tujuanya untuk membuat khamar, apabila penjual itu mengetahui bahwa pembeli itu adalah produsen khamar. Imam asy-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah menganggap jual beli n sah, tetapi hukumnya makruh, sama halnya dengan orang islam menjual senjata kepada musuh islam. Akan tetapi, ulama Malikiyah dan Hanabilah menganggap jual beli ini batal sama sekali.

h. Jual beli yang bergantung pada syarat, seperti ungkapan pedagang “jika tunai harganya Rp.10.000,dan jika beruntung harganya Rp.15.000.” jual beli ini dikatakan fasid didasarkan sabda Rasulullsh Saw yaitu:

Rasulullah SAW melarang dua jual beli dalam satu akad, dan dua syarat dalam satu bentuk jual beli.(HR. Abu Hurairah dan Amr ibn Syu’aib).

Contoh lainnya adalah seorang menjual sebuah barang pada pembeli dengan syarat tidak boleh menjualnya kepada orang tertentu, atau pembeli tidak boleh mewaqofkan atau menghibahkannya. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan jual beli bersyarat itu batal. Sedagkan Imam maliki menyatakan jual beli bersyarat itu sah apabila pembeli diberi hak khiyar.

i. Jual beli sebagian barang yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari satuannya. Seperti tanduk kerbau dari kerbau yang masih hidup, dan sebelah sepatu. Jual bei sepeti ini menurut jumhur ulama tidak sah, dan menurut ulama Hanafiyah hukumnya fasid.

j. Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna matangnya. Para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa jual beli itu tidak sah. Menurut ulama Hanafiyah apabila buah-buahan itu telah ada di pohonnya tetapi belum layak panen, maka apabila disyaratkan untuk memanen buah-buahan itu bagi pembeli, maka jual beli itu sah. Apabila disyaratkan bahwa buah-buahan itu dibiarkan sampai matang dan layak panen maka jual belinya fasid menurut ulama Hanafiyah., karena sesuai tuntutan akad benda yang dibeli harus berpindah tangan kepada pembeli begitu akad disetujui. Jumhur ulama menyatakan bahwa jual beli buah-buahan yang belum layak panen hukumnya batal, akan tetapi apabila buah-buahab itu telah matang tapi belum layak panen maka jual belinya sah. Sekalipun menunggu sampai benar-benar layak panen atau disyaratkan harus dipanen ketika itu juga. Alasan mereka adalah berdasarkan hadits Rasulullsh Saw yang berbunyi:

BAB III

KESIMPULAN

Dapat di simpulkan jual beli terlarang adalah jual beli yang tidak menetapi salah satu syarat dan rukun jual beli. Jual beli terlarang membagi dua bagian dalam syariat islam:

1. Jual beli terlarang tapi sah, yaituy sebagai berikut :

a. Membeli barang untuk di timbun.

b. Membeli barang yang sedang di tawar orang lain.

c. Membeli barang yang jauh di bawah harga pasaran

d. Membeli barang yang jauh di atas harga pasaran.

e. Jual beli barang dengan jalan menipu.

f. Jual beli barang untuk perbuatan maksiat.

g. Jual beli barang pada waktu shalat jum’at.

2. Juali beli terlarang dan tidak sah, yaiu sebagai berikut :

a. Barang yang belum nyata hasilnya.

b. Barang hasil curian.

c. Barang yang dihramkan oleh Allah.

d. Barang yang tidak jelas kadarnya.

e. barang yang bukan miliknya.

f. barang yang najis sifatnya.

Di samping syariat Islam, Negara juga mengatur tata cara jual beli, Negara Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sangat memperhatikan tata cara jual beli supaya warga Negara merasa aman, tenteram, dan sejahtera [5]



[1] Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, cet IV, hal 120

[2] Hendi Suhendi. Opcit. hal 69-70. lihat juga Abdurrahman al-Jaziri. Fiqh empat madzhab jus 6 ter. hal 7-9

[3] Dr. H. Hendi Suhendi, M. Si. Fiqh Muamalah, hal.70

[4]

[5] Drs. Suyanto .dkk. Pendidikan Agama Islam kls 6. Yudhistira , Semarang : 1997. hal 40

asal mula adzan dan iqamah

Nama : Umi Salamah

Nim : D01208089

Kelas : B

Bahasan : Fiqih kelas 1 Mts semester

Standart Kompetensi : Melaksanakan tatacara azan, iqamah ,salat jamaah

Kompetensi Dasar : 1. Menjelaskan ketentuan azan dan iqamah

2. Menjelaskan ketentuan salat berjamaah

3. Menjelaskan ketentuan makmum masbuk

4. Menjelaskan cara mengingatkan imam yang lupa

5. Menjelaskan cara mengingatkan imam yang batal

6. Mempraktikkan azan, iqamah, dan salat jamaah

Indikator : 1. Menjelaskan ketentuan azan dan iqamah

2. Menjelaskan asal muasal adzan dan iqamat

3. Menjelaskan adzab adzan

4. Membaca doa setelahAdzan

5. Tata cara shalat berjama'ah

6. Menyebutkan syarat syah menjadi imam.

7. Membedakan imam da ma’mum masbuq

8. Menyebutkan cara memberi tahu imam yang salah

9. Menyebutkan shalat berjamaah.

Materi : Adzan, Iqamah dan shalat jama’ah

Azan (ejaan KBBI) atau adzan merupakan panggilan bagi umat Islam untuk memberitahu masuknya shalat fardu. Dikumandangkan oleh seorang muadzin setiap shalat 5 waktu. Lafadz adzan terdiri dari 7 bagian:

1. Allahu Akbar, Allahu Akbar (2 kali); artinya: "Allah Maha Besar, Allah Maha Besar"

2. Asyhadu alla ilaha illallah (2 kali) "Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan selain Allah"

3. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (2 kali) "Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah"

4. Hayya 'alash sholah (2 kali) "Mari menunaikan shalat"

5. Hayya 'alal falah (2 kali) "Mari meraih kemenangan"

6. Allahu Akbar, Allahu Akbar (1 kali) "Allah Maha Besar, Allah Maha Besar"

7. Lailaha ilallah (1 kali) "Tiada sesembahan selain Allah"


Asal muasal adzan berdasar hadits

Lafal adzan tersebut diperoleh dari hadits tentang asal muasal adzan dan iqamah:

Abu Dawud mengisahkan bahwa Abdullah bin Zaid berkata sebagai berikut: "Ketika cara memanggil kaum muslimin untuk sholat dimusyawarahkan, suatu malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia ada maksud hendak menjual lonceng itu. Jika memang begitu aku memintanya untuk menjual kepadaku saja. Orang tersebut malah bertanya," Untuk apa? Aku menjawabnya, "Bahwa dengan membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan sholat." Orang itu berkata lagi, "Maukah kau kuajari cara yang lebih baik?" Dan aku menjawab "Ya!" Lalu dia berkata lagi dan kali ini dengan suara yang amat lantang:

· Allahu Akbar Allahu Akbar

· Asyhadu alla ilaha illallah

· Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah

· Hayya 'alash sholah (2 kali)

· Hayya 'alal falah (2 kali)

· Allahu Akbar Allahu Akbar

· La ilaha illallah

Ketika esoknya aku bangun, aku menemui Nabi Muhammad.SAW, dan menceritakan perihal mimpi itu kepadanya, kemudian Nabi Muhammad. SAW, berkata, "Itu mimpi yang sebetulnya nyata. Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan seperti itu dan dia memiliki suara yang amat lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal." Rupanya, mimpi serupa dialami pula oleh Umar ia juga menceritakannya kepada Nabi Muhammad, SAW.

Asal muasal iqamah

Setelah lelaki yang membawa lonceng itu melafalkan adzan, dia diam sejenak, lalu berkata: "Kau katakan jika shalat akan didirikan:

· Allahu Akbar, Allahu Akbar

· Asyhadu alla ilaha illallah

· Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah

· Hayya 'alash sholah

· Hayya 'alal falah

· Qod qomatish sholah (2 kali), artinya "Shalat akan didirikan"

· Allahu Akbar, Allahu Akbar

· La ilaha illallah

Begitu subuh, aku mendatangi Rasulullah SAW kemudian kuberitahu beliau apa yang kumimpikan. Beliaupun bersabda: "Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar, insya Allah. Bangkitlah bersama Bilal dan ajarkanlah kepadanya apa yang kau mimpikan agar diadzankannya (diserukannya), karena sesungguhnya suaranya lebih lantang darimu." Ia berkata: Maka aku bangkit bersama Bilal, lalu aku ajarkan kepadanya dan dia yang berazan. Ia berkata: Hal tersebut terdengar oleh Umar bin al-Khaththab ketika dia berada di rumahnya. Kemudian dia keluar dengan selendangnya yang menjuntai. Dia berkata: "Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan benar, sungguh aku telah memimpikan apa yang dimimpikannya." Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Maka bagi Allah-lah segala puji."

HR Abu Dawud (499), at-Tirmidzi (189) secara ringkas tanpa cerita Abdullah bin Zaid tentang mimpinya, al-Bukhari dalam Khalq Af'al al-Ibad, ad-Darimi (1187), Ibnu Majah (706), Ibnu Jarud, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan Ahmad (16043-redaksi di atas). At-Tirmidzi berkata: "Ini hadits hasan shahih". Juga dishahihkan oleh jamaah imam ahli hadits, seperti al-Bukhari, adz-Dzahabi, an-Nawawi, dan yang lainnya. Demikian diutarakan al-Albani dalam al-Irwa (246), Shahih Abu Dawud (512), dan Takhrij al-Misykah (I: 650)

Hukum Iqamah
Dalam pembahasan adzan terdahulu, kita telah mengetahui bahwa hukum iqamah adalah fardhu kifayah dalam shalat berjamaah. Adapun untuk shalat sendiri, hukumnya mustahab (sunnah), dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا كَانَ الرَّجُلُ بِأَرْضٍ قِيٍّ، فَحَانَتِ الصَّلاَةُ فَلْيَتَوَضَّأْ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَاءً فَلْيَتَيَمَّمْ، فَإِنْ أَقَامَ صَلَّى مَعَهُ مَلَكَاهُ، وَإِنْ أَذَّنَ وَأَقَامَ صَلَّى خَلْفَهُ مِنْ جُنُوْدِ اللهِ مَا لاَ يُرَى طَرْفاَهُ
“Bila seseorang berada di tanah yang tandus tidak berpenghuni lalu datang waktu shalat, ia pun berwudhu dan bila tidak beroleh air ia bertayammum. Maka jika ia menyerukan iqamah untuk shalat akan shalat bersamanya dua malaikat yang menyertainya. Jika ia adzan dan iqamah maka akan shalat di belakangnya tentara-tentara Allah yang tidak dapat terlihat dua ujungnya.” (HR. Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah, sanadnya shahih di atas syarat As-Sittah, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu, Ats-Tsamarul Mustathab, 1/45)1

Adab adzan

Adapun adab melaksanakan azan menurut jumhur ulama ialah:

1. muazin hendaknya tidak menerima upah dalam melakukan tugasnya;

2. muazin harus suci dari hadas besar, hadas kecil, dan najis;

3. muazin menghadap ke arah kiblat ketika mengumandangkan azan;

4. ketika membaca hayya ‘ala as-salah muazin menghadapkan muka dan dadanya ke sebelah kanan dan ketika membaca hayya ‘ala al-falah menghadapkan muka dan dadanya ke sebelah kiri;

5. muazin memasukkan dua anak jarinya ke dalam kedua telinganya;

6. suara muazin hendaknya nyaring;

7. muazin tidak boleh berbicara ketika mengumandangkan azan;

8. orang-orang yang mendengar azan hendaklah menyahutnya secara perlahan dengan lafal-lafal yang diucapkan oleh muazin, kecuali pada kalimat hayya ‘ala as-salah dan hayya ‘ala al-falah yang keduanya disahut dengan la haula wa la quwwata illa bi Allah (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah);

9. setelah selesai azan, muazin dan yang mendengar azan hendaklah berdoa: Allahumma rabba hazihi ad-da’wah at-tammah wa as-salati al-qa’imah, ati Muhammadan al-wasilah wa al-fadilah wab’ashu maqaman mahmuda allazi wa’adtahu (Wahai Allah, Tuhan yang menguasai seruan yang sempurna ini, dan salat yang sedang didirikan, berikanlah kepada Muhammad karunia dan keutamaan serta kedudukan yang terpuji, yang telah Engkau janjikan untuknya [HR. Bukhari]). (KYP3095)

Membaca doa setelah Adzan

" اللهم رب هذه الدعوة التامة والصلاة القائمة آت محمدا الوسيلة والفضيلة وابعثه مقاما محمودا الذي وعدته "

“Ya Allah Tuhan Pemilik seruan yang sempurna ini, dan shalat yang akan didirikan, karuniakanlah kepada nabi Muhammad Saw. wasilah dan keutamaan dan tempatkanlah ia di tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan.”

Isilah Antara adzan dan Iqamah dengan dzikir

قال صلى الله عليه وسلم : " الدعاء لا يرد بين الأذان والإقامة " رواه أحمد والترمذي وأبو داوود

Do’a itu tidak akan tertolak diantara adzan dan iqamah”

Penjelasan: Do’a yang dilakukan pada waktu antara adzan dan iqamah itu terkabulkan. Dalam artian, waktu ini adalah salah satu waktu yang mustajabah untuk berdo’a.2

Email: info@pesantrenvirtual.com; Website: www.pesantrenvirtual.com

Terdapat riwayat shahih dalam Shahih Muslim [Kitab al-Musafirin, Bab Jami' Shalat al-Lail, 1/515, no. 748, pent.] dari Umar bin al-Khaththab y, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ؛ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ

"Barangsiapa tertidur dari hizbnya [Hizb adalah shalat, dzikir, wirid yang dilakukan oleh seseorang secara rutin di waktu tertentu, pent.] atau dari sesuatu dari hizbnya, lalu dia membacanya di antara Shalat Shubuh dan Shalat Zhuhur, maka ditulis untuknya pahala seperti dia memba-canya di malam hari."3

Ketentuan waktu antara Adzan dan Iqamat

jikalau seseorang sendirian atau wanita yang shalat dirumahnya, maka yang terbaik adalah mensegerakan shalat pada awal waktunya kecual isya’ dan dhuhur ketika sangat panas (agar diakhirkan). (menunaikan) shalat sunnah qabliyah kemudian shalat wajib. Hal itu sebagaimana diriwayatkan Bukhori (527) dan Muslim (85) dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu berkata:”Saya bertanya kepada Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam: “Amal apakah yang paling disenangi Allah?”. (beliau) menjawab: “Shalat pada waktunya”. Berkata (Ibnu Mas’ud):”Kemudian apa?”. Beliau menjawab:”Kemudian berbakti kepda kedua orang tua. Berkata (Ibnu Mas’ud):”Kemudian apa?”. (Beliau) menjawab:”Jihad di Jalan Allah”. Dan (berdasarkan) sabda Nabi Sallallahu’alaihi wasallam:”Ketika sangat panas, maka (tunggu) dingin dengan shalat yaitu shalat dhuhur. Karena (sengatan) panas dari hembusan neraka Jahanam. HR.Bukhori (537) dan Muslim (615). Dan apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata: Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam bersabda:”Kalau sekiranya tidak memberatkan bagi umatku, (pasti) akan saya perintahkan kepada mereka mengakhirkan shalat isya’ sampai sepertiga malam atau pertengahannya” HR.Turmudzi (167) dan dishohehkan oleh Al-Bany di shoheh Turmudzi

Sementara (berkaitan dengan) jama’ah (yang berada di dalam) masjid, maha hendaknya disana ada waktu antara adzan dan iqamah (yang) cukup untuk bersuci, pergi ke masjid, dan menunaikan shalat (sunah) rowatib. Syekh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata di kitab “Fiqhus Sunnah” (1/100):”Diharapkan (ada) renggang antara adzan dan iqamah waktu yang memungkinkan untuk persiapan (menunaikan) shalat dan menghadirinya, karena adzan disyareatkan untuk seperti ini. Jikalau tidak (ada waktu renggang) maka akan hilang faeadahnya. Dan hadits-hadits yang ada semakna ini semuanya lemah. Bukhori telah (membuat bab khusus) dengan bab “Berapa (waktu) antara adzan dan iqamah” akan tetapi tidak (ada ketetapan) pastinya. Ibnu Battol berkata:”Tidak ada ketetapan (untuk) itu, melainkan kemungkinan (telah memasuki) waktu adzan dan berkumpulnya orang-orang (yang akan menunaikan) shalat”. Selesai. Ibnu Hajar rahimahullah berkomentar dalam “Fathul Bari (2/162)” (memberi) catatan terhadap perkataan Imam Bukhori “Berapa (waktu) antara adzan dan iqamah”: (Beleh jadi) beliau mengisyaratkan apa yang diriwayatkan oleh Jabir sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wasallam berkta kepada Bilal:”Jadikanlah antara adzan dan iqamahmu (waktu senggang) yang cukup (jikalau) orang makan telah selesai makannya, orang minum selesai minumnya dan orang yang sakit perut selesai membuang hajatnya”. HR.Turmudzi dan Hakim akan tetapi sanadnya lemah. Dan ia ada syahid (penguat) dari hadits Abu Hurairah, hadits Salman yang keduanya dikeluarkan oleh Abu Syekh, dan dari hadits Ubay bin Ka’b yang dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam ziyadat Musnad. Akan tetapi semuanya lemah. Seakan-akan beliau memberikan isyarat bahwa ketentuan (waktu) seperti itu tidak (ada) ketetapan”. Selesai. Sykeh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah di tanya: “Apakah (ada) Rasulullah sallallahu’alaih wasallam menentukan waktu (senggang) antara adzan dan iqamah?” Beliau menjawab:”(Biasanya) Nabi sallallahu’alaihi wasallam (menunaikan) shalat pada awal waktu kecuali shalat isya’ yang akhir. Maka beliau menunggu berkumpulnya orang-orang, kalau (beliau) melihat mereka telah berkumpul disegerakan (shalat). Dan jikalau beliau melihat mereka lambat diakhirkan (shalat). Dan biasanya beliau juga tinggal di rumah sampai muadzin datang untuk memberitahukan akan hadirnya (waktu shalat), terkadang beliau keluar tanpa diberitahukan. Maka yang (sesuai) sunnah adalah mensegerakan semua waktu shalat melainkan (shalat) isya’dan dhuhur di waktu panas. Akan tetapi (waktu) shalat yang mempunyai sunnah rawatib seperti fajar dan dhuhur, hendaklah seseorang memperhatikan kondisis orang (lain) yang memungkinkan untuk wudhu’ setelah adzan dan melaksanakan shalat rowatib ini”. Selesai Majmu’ Fatawa Sykeh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin (12/190). Kalau jama’ah (yang ada) di Masjid bersepakat (menentukan) waktu tertentu untuk melaksanakan iqamah shalat atau ada arahana dari penanggung jawab Auqof (Depag) agar terhindar dari perselisihan, maka (hal tersebut) tidak mengapa dan hendahnya berkomitmen akan hal itu4.

Sholat Berjamaah

a. Hukum Shalat Berjama’ah

Shalat berjama’ah itu adalah wajib bagi tiap-tiap mukmin, tidak ada keringanan untuk meninggalkannya terkecuali ada udzur (yang dibenarkan dalam agama). Hadits-hadits yang merupakan dalil tentang hukum ini sangat banyak, di antaranya:

“Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu , ia berkata,Telah datang kepada Nabi shallallaahu alaihi wasallam seorang lelaki buta, kemudian ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak punya orang yang bisa menuntunku ke masjid, lalu dia mohon kepada Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam agar diberi keringanan dan cukup shalat di rumahnya.’ Maka Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia berpaling untuk pulang, beliau memanggilnya, seraya berkata, ‘Apakah engkau mendengar suara adzan (panggilan) shalat?’, ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Maka hendaklah kau penuhi (panggilah itu)’.” (HR. Muslim)

“Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu ia berkata: ‘Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, ‘Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Subuh. Seandainya mereka itu mengetahui pahala kedua shalat tersebut, pasti mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Aku pernah berniat memerintahkan shalat agar didirikan kemudian akan kuperintahkan salah seorang untuk mengimami shalat, lalu aku bersama beberapa orang sambil membawa beberapa ikat kayu bakar mendatangi orang-orang yang tidak hadir dalam shalat berjama’ah, dan aku akan bakar rumah-rumah mereka itu’.” (Muttafaq ‘alaih)

“Dari Abu Darda’ radhiallaahu anhu, ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, ‘Tidaklah berkumpul tiga orang, baik di suatu desa maupun di dusun, kemudian di sana tidak dilaksanakan shalat berjama’ah, terkecuali syaitan telah menguasai mereka. Maka hendaklah kamu senan-tiasa bersama jama’ah (golongan yang banyak), karena sesungguhnya serigala hanya akan memangsa domba yang jauh terpisah (dari rombongannya)’.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai dan lainnya, hadits hasan )

“Dari Ibnu Abbas , bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa mendengar panggilan adzan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, ter-kecuali karena udzur (yang dibenarkan dalam agama)’.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya, hadits shahih)

“Dari Ibnu Mas’ud radhiallaahu anhu, ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam mengajari kami sunnah-sunnah (jalan-jalan petunjuk dan kebenaran) dan di antara sunnah-sunnah tersebut adalah shalat di masjid yang dikuman-dangkan adzan di dalamnya.” (HR. Muslim)

b. Keutamaan Shalat Berjama’ah

Shalat berjama’ah mempunyai keutamaan dan pahala yang sangat besar, banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan hal tersebut di antaranya adalah:

“Dari Ibnu Umar radhiallaahu anhuma , bahwasanya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, ‘Shalat berjama’ah dua puluh tujuh kali lebih utama daripada shalat sendirian.” (Muttafaq ‘alaih)

“Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, ia berkata,’Bersabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam, ‘Shalat seseorang dengan berjama’ah lebih besar pahalanya sebanyak 25 atau 27 derajat daripada shalat di rumahnya atau di pasar (maksudnya shalat sendi-rian). Hal itu dikarenakan apabila salah seorang di antara kamu telah berwudhu dengan baik kemudian pergi ke masjid, tidak ada yang menggerakkan untuk itu kecuali karena dia ingin shalat, maka tidak satu langkah pun yang dilangkahkannya kecuali dengannya dinaikkan satu derajat baginya dan dihapuskan satu kesalahan darinya sampai dia memasuki masjid. Dan apabila dia masuk masjid, maka ia terhitung shalat selama shalat menjadi penyebab baginya untuk tetap berada di dalam masjid itu, dan malaikat pun mengu-capkan shalawat kepada salah seorang dari kamu selama dia duduk di tempat shalatnya. Para malaikat berkata, ‘Ya Allah, berilah rahmat kepadanya, ampunilah dia dan terimalah taubatnya.’ Selama ia tidak berbuat hal yang mengganggu dan tetap berada dalam keadaan suci’.” (Muttafaq ‘alaih)5

http://trimudilah.wordpress.com/shalat/

Solat berjamaah adalah solat yang dilakukan secara bersama, dipimpin oleh yang ditunjuk sebagai imamnya. Solat-solat yang bisa dikerjakan berjamaah adalah:

1. Solat Lima Waktu: Subuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya
2. Solat Jum’at
3. Solat Tarawih
4. Solat Ied Fitri dan ‘Idul Adha
5. Solat Jenazah
6. Solat Istisqa (Minta Hujan)
7. Solat Gerhana Bulan dan Matahari
8. Solat Witir

Cara Melakukan

Berniat dalam hati bahawa ia menjadi makmum atau iman. Adapun seseorang yang pada mulanya solat sendirian, kemudian ada orang lain yang mengikuti di belakangnya, baginya tidak dituntut sebagai imam.

Makmum tidak dibenarkan mendahului imam, baik tempat berdirinya maupun gerakannya selama solat berjama’ah berlangsung. Makmum diharuskan mengikuti sikap/gerak imam, tidak boleh terlambat apa lagi sampai tertinggal hingga dua rukun solat.

Apabila makmum menyalahi gerakan imam (sengaja tidak mengikutinya) maka putuslah arti jama’ah baginya; dan ia disebut mufarriq.

Antara imam dan makmum harus berada dalam satu tempat yang tidak terputus oleh sungai atau tembok mati kerana itu berjamaah melalui radio atau seumpamanya dalam jarak jauh, tidak memenuhi syarat berjamaah.

Imam hendaklah orang yang berdiri sendiri, bukan orang yang sedang makmum kepada orang lain. Selain itu, imam hendaklah seorang laki-laki. Perempuan hanya dibenarkan menjadi imam sesama perempuan dan anak-anak.

Solat berjamaah hukumnya sunnah muakkad yaitu sunnat yang sangat dianjurkan. Perbedaan nilai solat berjamaah, 27 kali lebih baik daripada solat sendirian (munfarid). Solat berjamaah paling sedikit adalah adanya seorang imam dan seorang makmum.

Bila seseorang terlambat mengikuti solat berjamaah, hendaklah ia segera melakukan takbiratul ihram, lalu berbuat mengikuti imam sebagaimana adanya. Bila imam sedang duduk, hendaklah ia duduk, bila iamam sedang sujud iapun harus sujud; demikian seterusnya. Apabila imam sudah memberi salam, hendaklah ia bangun kembali untuk menambah kekurangan raka’at yang tertinggal dan kerjakanlah hingga raka’atnya memenuhi.

Ukuran satu rakaat solat ialah ruku’. Bila seseorang mendapatkan imam ruku dan dapat mengikutinya dengan baik, maka ia mendapatkan satu rakaat bersama imam.

Rasulullah s a.w. bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu mendatangi shalat, padahal imam sedang berada daam suatu sikap tertentu, maka hendaklah ia berbuat seperti apa yang sedang dilakukan oleh imam”. (HR Turmudzi dan Ali r.a. )

Hikmah Berjamaah

Solat berjamah mengandung faedah dan manfaat yang bervariasi sesuai dengan kepentingan umat dan zaman. Melalui jamaah, silaturahmi antar umat, disiplin, dan berita-berita kebajikan dapan dikembangkan dan disebarkan luaskan.

Rasulullah s a.w. bersabda: Solat berjamaah itu lebih utama nilainya dari solat sendirian, sebanyak dua puluh tujuh derajat” (HR Bukhari dan Muslim).

Imam (Ikutan)

Imam adalah ikutan, demikian pengertiannya. Untuk menjadi seorang imam diperlukan beberapa persyaratan yang mengikat. Misalnya memiliki usia yang lebih tua atau dituakan, memiliki pengetahuan tentang Al Quran dan hadits Rasulullah s a.w., memiliki keindahan bacaan dengan ucapan yang fasih (kalau di zaman Rasulullah s a.w., peribadi-peribadi yang lebih dahulu hijrah diperhatikan untuk menjadi imam.

Kerana imam adalah ikutan, maka pemilihan pribadi amat diperhatikan. Pro dan kontra yang berlebihan atas seseorang imam kerana dosa besarnya yang menonjol, pasti akan membubarkan jamaah. Adapun dalam kesalahan umum, maka semua manusia tidak suci dari dosa. Seorang yang biasa menjadi imam, maka tidak ada salahnya untuk sewaktu-waktu ia berada di belakang imam yang lain. Walau dia sendiri mungkin lebih baik dari imam yang bersangkutan.

“Dari Abdullah bin Masud, dia berkata: Rasulullah s a.w. bersabda: “Menjadi Imam dari suatu kaum ialah mana yang lebih baik bacaan Al Qur’annya. Bila semuanya sama bagusnya, hendaklah imamkan mana yang paling alim (banyak tahu) akan sunnah Rasul. Kalau semuanya sama alim tentang sunnah Rasul, maka dahulukan mereka yang lebih dulu hijrah. Kalau mereka sama dahulu hijrah, maka iammkanlah mereka yang lebih tua usianya” (HR Imam Ahmad dan Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud).

“Kalau mereka ada bertiga, hendaklah diimamkan seorang. Yang lebih berhak menjadi imam ialah yang lebih banyak bacan (tahu tentang bacaan Al Qur’annya)”. (HR Imam Muslim, Ahmad dan Nasa’i dengan sumber Abi Said Al-Khudry).

“Tidaklah halal bagi seorang mukmin yang imam kepada Allah s.w.t. dan hari akhir yang mengimami sesuatu kaum kecuali atas izin kaum itu. Dan janganlah ia mengkhususkan satu do’a untuk dirinya sendiri dengan meninggalkan mereka. Kalau ia berbuat demikian, berkhianatlah ia kepada mereka”. (HR Abu Daud dari Abu Hurairah)

Keadaan Shaf

Solat salah satu ibadah yang menghubungkan peribadi kepada Allah s.w.t., dan juga mengatur hubungan sesama manusia. Solat yang baik mendatangkan tamsil yang indah dan berguna.

Shaf yang baik akan menghemat tempat, merapikan barisan dan kesatuan jamaah serta mendatangkan nilai tambah bagi ibadah itu sendiri, bahkan menjadi cermin disiplin kehidupan dan pergaulan.

Rasulullah s a.w. bersabda: “Aturlah shaf-shaf kamu dan dapatkanlah jarak antaranya, ratakanlah dengan tengkuk-tengkuk”. (HR Imam Abu Dawud dan An Nasa’i disahihkan Ibnu Hibban dari Anan).

Sering orang mengira bahawa shaf yang baik adalah shaf yang dilakukan secara santai-lapang. Tidaklah demikian sebenarnya.

Untuk Shaf yang Baru

Bila shaf terisi penuh, maka mulailah dengan shaf yang baru dari arah sebelah kanan. Bila yang terbelakang hanya seorang diri, maka usahakanlah ia dapat masuk shaf yang sudah ada; atau tariklah seorang anggota shaf yang ada untuk menemaninya (yang ditarik pasti mahu, andaikan ia mengerti tata tertibnya).

Shaf Kaum Wanita

Shaf kaum wanita sebaiknya terletak di belakang shaf kaum lelaki, sementara shaf anak-anak berada di tengah; demikian bila dimungkinkan. Bila tidak, shaf makmum lelaki dan wanita bisa diatur secara sejajar; atau mungkin tercampur sama sekali, bagaikan jamaah musim haji di masjidil Haram, Makkah. Shaf yang bercampur baur sebenarnya kurang baik, bahkan mudah mengandung fitnah; sementara solat itu sendiri mencegah kekejian dan kemungkaran, yang akan mendatangkan fitnah, apalagi jika melakukan solat.

Rasulullah s a.w. bersabda: “Sebaik-bauknya shaf kaum lelaki itu di depan, dan seburuk-buruknya ialah di bagian belakangnya, dan sebaik-baiknya shaf kaum wanita itu ialah pada bagian akhirnya dan sejelek-jeleknya ialah di bagian depannya”. (HR Imam Muslim dari Abu Hurairah).

Pengganti Imam

Bila solat berjamaah, sebaiknya orang yang di belakang imam adalah mereka yang merasa dirinya siap sebagai pengganti, bila tiba-tiba imam mendapat halangan, umpamanya batal, jatuh sakit, lupa ingatan, terlupa rukun dan sebagainya. Apabila seseorang solat di sebuah masjid di luar asuhan atau daerahnya sendiri, maka dia tidak boleh langsung bertindak menjadi imam, kecuali bila diminta. Mungkin saja disana sudah ada jadwal imam tetap. Begitu pula bila ia bertamu, kerana yang paling hak menjadi imam adalah tuan rumah sendiri, kecuali bila ia diminta.

Imam Yang Arif

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahawa Rasulullah s a.w. bersabda: “Manakala seseorang di antara kamu solat bersama-sama orang banyak, maka hendaklah ia meringankan (memendekkan) bacaan surat atau ayat-ayatnya. Mungkin ada diantara jamaah yang tidak tahan lama berdiri, ada yang sakit, atau ada yang sudah tua. Dan manakala seseorang dari kamu itu solat sendirian, maka silakan ia memanjangkan bacaan sekehendaknya”. (HR Bukhari dan Muslim).

Khutbah dipendekkan dan solat diperpanjang, demikian petunjuk Rasulullah s a.w. Di pejabat, pekerja dibatasi oleh waktu, maka khutbah yang pendek sangat tepat dan bermanfaat. Khutbah yang seakan-akan cerita bersambung, membosankan, akhirnya jama’ah berbual dan mengantuk6.

Ringkasan

* Kalau solat di rumah, maka tuan rumah lebih berhak menjadi imam, kecuali tuan rumah mempersilakannya.
* Orang yang bagus bacaan Al-Qurannya lebih diutamakan untuk menjadi imam.
* Bila solat telah berlangsung, mereka yang datang belakangan terus saja mengikuti imam yang sudah ada.
* Imam sedapatnya orang yang lebih disukai makmum, kerana iman itu dipilih untuk diikuti.
* Imam sahabat rawatib, sebaiknya oleh imam yang biasa ditetapkan, kecuali ada kesepakatan menunjuk orang lain sebagai imam.
* Imam yang fasih lebih utama, sebagai halnya seorang yang dituakan, baginya amat layak menjadi imam dalam solat.
* Imam itu bertanggung jawab atas makmumnya, kerana itu seorang imam harus tahu benar dengan kedudukannya.
* Orang makmum yang tepat berada di belakang imam, hendaklah seorang yang amat tahu dalam masalah ibadah yang sedang dilakukan. Mereka harus bertindak tepat pada saat imam batal, salah, lupa dan sebagainya. Bila perlu ia berhak menggatikan imam, sekalipun imam berkebaratan atau tidak tahu tentang kesalahannya.
* Seorang di belakang imam berlaku sebagai barometer, berhak meluruskan baris atau shaf di kanan dan kirinya.
* Apabila selesai solat, imam segera duduk mengarah ke jamaah. Sebaiknya imam berdzikir secara pelan dan kusyu, dan jamaahpun berdzikir atau berdoa sesuai kata hatinya; demikian yang terbaik.
* Bila imam berdoa, diaminkan atau tidak diaminkan, doa imam sudah membawa kepentingan jamaahnya7.

Syarat sah menjadi imam

Syarat Sah Manjadi Imam Dalam Shalat Berjama'ah

Sebelum memulai shalat dengan makmumnya, seorang imam setelah muazin selesai mengumandangkan azan dan komat, maka imam berdiri paling depan dan menghadap makmum untuk mengatur barisan terlebih dahulu. Jika sudah lurus, rapat dan rapi imam menghadap kiblat untuk mulai ibadah sholat berjamaah dengan khusyuk.

Syarat Untuk Menjadi Imam Sholat Berjama'ah :
1. Lebih banyak mengerti dan paham masalah ibadah solat.
2. Lebih banyak hapal surat-surat Alquran.
3. Lebih fasih dan baik dalam membaca bacaan-baca'an salat.
4. Lebih senior / tua daripada jama'ah lainnya.
5. Tidak mengikuti gerakan shalat orang lain.
6. Laki-laki. Tetapi jika semua makmum adalah wanita, maka imam boleh perempuan.

Bacaan dua rokaat awal untuk sholat zuhur dan ashar pada surat Al-fatihah dan bacaan surat pengiringnya dibaca secara sirran atau lirih yang hanya bisa didengar sendiri, orang lain tidak jelas mendengarnya. Sedangkan pada solat maghrib, isya dan subuh dibaca secara jahran atau nyaring yang dapat didengar makmum. Untuk shalat sunah jumat, idul fitri, idul adha, gerhana, istiqo, tarawih dan witir dibaca nyaring, sedangkan untuk sholat malam dibaca sedang, tidak nyaring dan tidak lirih.

B. Syarat Sah Manjadi Ma'mum Dalam Shalat Berjama'ah

Syarat Untuk Menjadi Makmum Sholat Berjama'ah :
1. Niat untuk mengikuti imam dan mengikuti gerakan imam.
2. Berada satu tempat dengan imam.
3. Laki-laki dewasa tidak syah jika menjadi makmum imam perempuan.
4. Jika imam batal, maka seorang makmum maju ke depan menggantikan imam.
5. Jika imam lupa jumlah roka'at atau salah gerakan sholat, makmum mengingatkan dengan membaca Subhanallah dengan suara yang dapat didengar imam. Untuk ma'mum perempuan dengan cara bertepuk tangan.
6. Makmum dapat melihat atau mendengar imam.
7. Makmum berada di belakang imam.
8. Mengerjakan ibadah sholat yang sama dengan imam.
9. Jika datang terlambat, maka makmum akan menjadi masbuk yang boleh mengikuti imam sama sepertimakmum lainnya, namun setelah imam salam masbuk menambah jumlah rakaat yang tertinggal. Jika berhasil mulai dengan mendapatkan ruku' bersama imam walaupun sebentar maka masbuk mendapatkan satu raka'at. Jika masbuk adalah makmum pertama, maka masbuk menepuk pundak imam untuk mengajak sholat berjama'ah.

C. Posisi Imam Dan Makmum Sholat Jama'ah / Besama-Sama

1. Jika terdiri dari dua pria atau dua wanita saja, maka yang satu menjadi imam dan yang satu menjadi makmum berada di sebelah kanan imam agak ke belakang sedikit.
2. Jika makmum terdiri dari dua orang atau lebih maka posisi makmum adalah membuat barisan sendiri di belakang imam. Jika makmum yang kedua adalah masbuk, maka masbuh menepuk pundak mamum pertama untuk melangkah mundur membuat barisan tanpa membatalkan sholat.
3. Jika terdiri dari makmum pria dan makmum wanita, maka makmum laki-laki berada dibelakang imam, dan wanita dibalakang makmum lakilaki.
4. Jika ada anak-anak maka anak lelaki berada di belakang makmum laki-laki dewasa dan disusul dengan makmum anak-anak perempuan dan kemudian yang terakhir adalah makmum perempuan dewasa.
5. Makmum bencong atau transeksual tetap tidak diakui dan kalau ingin sholat berjama'ah mengikuti jenis kelamin awal beserta perangkat sholat yang dikenakan8.

Perbedaan imam na ma’mum masbuq

Perbedaan niat imam dan makmum

Fenomena yang sering menimbulkan pertanyaan di kalangan kaum muslimin Indonesia adalah manakala seorang sholat sunnah sendiri, misalnya sholat sunnah ba'diyah, atau sholat fardlu sendiri kemudian datanglah seseorang yang bermakmum kepadanya dengan menepuk pundak si mushalli pertama, sahkah sholat seperti ini? Permasalahan ini dalam kitab fikih dibahas dengan judul perbedaan niat imam dan makmum. Para ulama berbeda pendapat mengenai tata cara sholat seperti itu.

Pendapat pertama adalah madzhab syafi'i mengatakan bahwa sah sholat jamaah dengan perbedaan niat imam dan makmum secara mutlak. Jadi meskipun imam sholat sunnah dan makmum sholat fardlu, imam sholat dhuhur dan makmum sholat ashar, imam sholat ada' dan makmum sholat qadla, semuanya sah, asalkan format sholat imam dan makmum sama. Kalau formatnya beda, maka tidak sah, seperti misalnya imam sholat gerhana dan makmum sholat isya', maka tidak diperbolehkan. Madzhab Syafi'I ini merupakan madzhab yang paling longgar.

Pendapat kedua adalah madzhab Maliki yang mengatakan tidak sah sholat imam dan makmum yang berbeda niatnya, secara mutlak. Mereka yang sholat fradlu tidak boleh bermakmum dengan imam yang sholat sunnah, begitu makmum sholat dhuhur tidak sah bila imamnya sholat selain fardlu. Ini pendapat paling ketat.

Pendapat ketiga adalah madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa boleh orang sholat sunnah di belakang imam yang sholat fardlu tapi tidak sebaliknya. Begitu juga tidak sah sholat makmum yang berbeda dengan sholat imamnya meskipun sama-sama fardlu.

Dalil-dalil:

Dalil pendapat pertama adalah:

1. Hadist riwayat Syafi'I dari Abu Bakrah bahwa Rasulullah s.a.w. keluar untuk mendamaikan satu persengketaan di Bani Sulaim, lalu beliau membagi sahabatnya menjadi dua kelompok, kemudian beliau sholat mengimami dengan kelompok satu, kemudian sholat lagi mengimami dikelompok kedua. Diriwayatkan itu sholat maghrib.

Sangat jelas pada hadist tersebut bahwa Rasulullah mengimami kelompok kedua, padahal beliau telah sholat di kelompok pertama. Berarti sholat Rasulullah sunnah dan sholat makmum fardlu.

2. Hadist riwayat Muslim dari Jabir bin Abdullah bahwa Suatu hari Muadz sholat bersama Rasulullah s.a.w. lalu ia datang ke kaumnya lalu ia mengimami kaumnya sholat Isya' dengan membaca surat Baqarah, lalu seorang lelaki keluar dari jamaah dan menyelesaikan sendiri sholatnya. Orang-orang pun menegurnya "Apakah anda orang manafik?", iapun menjawab"Tidak, aku akan adukan masalah ini kepada Rasulullah". Sesampai kepada Rasulullah, orang itu berkata "Wahai Rasulullah, kami orang-orang bekerja siang, Muzdz telah mengimami kami sholat Isya' telah larut dan membaca surat Baqarah". Ketika Rasulullah mendengar cerita itu, ditegurnya Muad'z "Apakah angkau orang yang suka membuat fitnah? Mengapa tidak kau baca surat Sabbihis dan Wallaili Idza Yaghsyaa".

Hadist ini juga menunjukkan perbedaan sholat imam dan makmum, dimana Muadz telah sholat Isya bersama Rasulullah lalu menjadi imam di kaumnya. Bagi Muadz sholat sunnah dan bagi kaumnya sholat fardlu.

3. Hadist riwayat Ahmad dll. Suatu hari Rasulullah s.a.w. sholat bersama sahabatnya, selesai salam datanglah seorang lelaki ketinggalan lalu ia hendak sholat sendiri, lalu Rasuullah bersabda "Siapa yang mau bersedekah dengan orang ini dengan berjamaah dengannya".

Hadist ini juga menunjukkan sahnya sholat meskipun dengan perbedaan niat antara makmum dan imam.

Imam Syafi'I menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa perbedaan niat sholat antara imam dan makmum tidak membatalkan sholat jamaah.

Dalil pendapat kedua dan ketiga:

1. Hadist diriwayatkan Bukhari dan Muslim dll. Rasulullah s.a.w. bersabda "Sesungguhnya dijadikan imam untuk diikuti, ketika ia takbir maka takbirlah, ketika ruku' maka ruku'lah ketika sujud sujudlah, ketika ia sholat berdiri maka berdirilah …

Hadist tersebut menegaskan bahwa makmum harus mengikuti imam, perbedaan niat makmum menunjukkan sikap tidak mengikuti imam, maka tidak sah sholatnya.

2. Hadist riwayat Ashabus Sunan dari Barra' bin Azib, Rasulullah s.a.w. bersabda "Janganlah kalian berbeda, maka berbedalah hati kalian, sesungguhnyaAllah dan MalakatNya mendoakan para mushalli di shaf pertama".

Hadist ini melarang berbeda dalam melakukan sholat, baik pada shaf maupun niat, maka perbedaan niat imam dan makmum menjadikan sholat tidak sah.

Imam Abu Hanifah nampak mencoba menggabung hadist-hadist di atas secara tekstual, bahwa hanya makmum sholat sunnah boleh mengikuti imam yang sholat fardlu seperti yang dicontohkan dalam hadist.

Bagi pengikut madzhab Syafi'I, ketika sholat sendiri kemudian merasa ada makmum yang datang mengikutinya, hendaknya ia tidak menunggu makmum tersebut, misalnya dengan memperpanjang bacaan dlsb, tapi hendaknya ia konsentrasi penuh dengan sholatnya9

CARA MEMBERITAHU IMAM YANG SALAH

Saudaraku sesama muslim, sidang pembaca yang terhormat, kembali AL-Fakir berdakwah (lewat tulisan) kali ini sesuai judul artikel religius ini tersebut diatas. Namun sebelum membahas materi, ingin saya mengingatkan bahwa dalam shalat berjama’ah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya persoalan Imam, cara menegur Iman (sebab bukan mustahil seorang Imam dalam melaksanakan tugasnya bisa saja berlaku khilaf bukan ?), cara mengganti Imam dan apa syarat-syarat tertentu bagi seorang makmum menurut yang diajarkan syariat? Kenapa? Karena yang akan kita bahas kali ini adalah masalah yang ada kaitannya dan tidak terlepas dari pengertian yang namanya shalat berjama’ah. Sementara shalat berjama’ah itu sendiri mempunyai keistimewaan yaitu lebih baik 27 (dua puluh tujuh) derajad dari shalat sendiri.

• Sesuai Hadist Nabi SAW :

”Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: Shalat berjama’ah itu lebih baik daripada shalat sendiri dengan 27 (dua puluh tujuh) derajad.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Baiklah, Sekarang kita mulai dengan pembahasan kita. Siapa yang disebut Imam? Imam adalah orang yang memimpin shalat, baik shalat wajib (fardhu) maupun shalat sunnat (mafilah). Imam akan selalu diikuti gerak-geriknya dalam shalat oleh Jama’ah yang lain. Untuk menjadi seorang Imam harus mempunyai syarat-syarat diantaranya seperti berikut ini :

· Sehat akalnya

· Lebih fasih bacaannya.


• Sesuai sabda Rasulullah SAW :


”Jika bertiga maka hendaklah mereka dijadikan Imam salah seorang dari mereka, dan yang lebih berhak diantara mereka untuk menjadi Imam adalah orang yang lebih fasih bacaannya.” (HR. Muslim)

c. Harus laki-laki jika salah satu makmumnya terdapat laki-laki (tidak boleh perempuan menjadi Imam laki-laki)
d. Yang lebih tua umurnya dan atau lebih tampan wajahnya.

• Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW :

”Jika mereka sama bacaannya maka pilihlah yang lebih tua dan jika umurnya sama mereka pilihlah diantara mereka yang lebih tampan (ganteng) wajahnya.” (HR. Baihaqi)

Saudaraku, ada orang-orang yang tidak boleh dijadikan Imam. Siapa-siapa saja mereka itu ?

1. Perempuan bagi makmum laki-laki

2. Banci bagi makmum laki-laki

3. Banci bagi makmum banci

4. Perempuan bagi makmum banci

5. Orang yang pandai membaca Al-Qur’an menjadi makmum kepada orang yang tidak dapat membaca Al-Qur’an.


Sebagai manusia, Imam dalam shalat dapat saja berlaku khilaf dalam melaksanakan tugasnya. Untuk itu didalam syariat Islam sudah diatur tata cara bagaimana menegur Imam dan tata cara menegurnya adalah sebagai berikut:

1. Apabila Imam dalam melakukan gerakan shalat salah maka makmum berkewajiban memperbaiki kesalahannya.
2. Cara memperbaiki kesalahan, untuk laki-laki dengan mengucapkan Subhanallah, sedangkan makmum perempuan dengan cara : bertepuk tangan (yakni memukulkan tangan kanannya ketangan kiri bagian atas)


Kemudian bagiamana kalau sekiranya didalam shalat berjama’ah, Imam secara tidak sengaja mengalami hal yang membatalkan shalat, maka makmum yang dibelakangnya (berdiri dibelakang Imam) maju kedepan sebagai pengganti Imam dalam memimpin shalat sampai shalat selesai.

• Perhatikan riwayat yang diceritakan Said bin Mansyur dari Abu Razin yang artinya: ”Pada suatu hari Ali bin Abu Thalib sedang shalat, tiba-tiba keluar darah dari hidungnya. Kemudian ia (Sayyidina Ali bin Abi Thalib) segera menarik tangan seorang makmum dibelakangnya maju kedepan untuk menggantikannya.” (Dikutip dari buku Pendidikan Agama Islam Oleh: Drs. Ahmad Syafi’i Mufid, M.A.)

Sementara makmum adalah orang yang mengikuti Imam dalam shalat. Makmum dalam shalat berjama’ah hendaknya memiliki perasaan senang dan ikhlas kepada Imam. Untuk menjadi seorang makmum maka diperlakukan syarat-syarat tertentu diantaranya seperti berikut :

1. Makmum wajib niat mengikuti Imam dan Iman disunnahkan berniat menjadi Imam.

• Perhatikan Hadist Nabi SAW :
”Sesungguhnya syahnya sesuatu perbuatan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari)

2. Makmum harus mengikuti segala gerak shalat yang dikerjakan oleh Imam, seperti rukuk dan kembali dari rukuk, dengan cara melihat Imam langsung atau melihat makmum yang ada didepannya.

• Perhatikan pula Hadist Muttafaqun ’Alaih ini :

”Rasulullah SAW bersabda : ”Bahwasanya dijadikannya seorang Imam adalah untuk diikuti maka apabila dia bertakbir, bertakbirlah dan jika rukuk, rukuklah.” (HR. Muttafaqun ’Alaih.)

3. Tidak boleh mendahului Imam atau melambatkan diri dari dua rukun Fi’li (perbuatan).

4. Laki-laki tidak syah mengikuti Imam perempuan

5. Berada disuatu lingkungan tempat yang sama dan tidak ada batas yang menghalangi antara Imam dan Makmum.

6. Makmum dan Imam hendaklah dalam satu tempat, misalnya dalam satu Masjid atau Mushola, meskipun ini bukan termasuk syarat Jama’ah, tetapi hukumnya sunnat karena makmum perlu mengetahui gerakan Imam di depan.

7. Makmum jangan mendahului Imam atau memperlambat diri dengan gerakan shalat Imam, seperti Imam belum takbir makmum sudah takbir atau Imam sudah sujud makmum baru rukuk.

8. Makmum dengan Imam hendaklah sama-sama shalatnya, apabila shalat Ashar dengan shalat Ashar. Namun, hal itu untuk mencari keutamaan jama’ah. Tetapi jika tidak bersamaan dengan orang yang shalat maktubah (shalat fardhu), maka tidak boleh mengikuti (menjadi makmum) dengan orang yang sedang shlat mafilah (sunnat).

Seperti orang yang sedang shalat Ba’diyah Isya tidak boleh diikuti oleh orang yang akan shalat fardhu. Cara memberitahukan bahwa kita sedang shalat sunnat agar tidak diikuti oleh orang yang akan shalat fardhu adalah dengan menghentakkan tangan kanan kita dan kalau melihat kode (hentakan tangan) tersebut hendaknya orang yang berniat menjadi makmum itu mengurungkan niatnya mengikuti untuk (bermakmum) kepadanya. Begitu juga orang yang shalat fardhu tidak boleh mengikuti (menjadi makmum) kepada orang yang sedang shalat gerhana atau shalat jenazah karena aturannya tidak sama.
Tetapi sebagian Ulama berpendapat orang yang sedang shalat sunnat (misalnya shalat Ba’diyah Isya, dll) boleh diikuti oleh orang yang berniat akan shalat fardhu karena aturannya sama. Misalnya kita sedang shalat sunnat (Ba’diyah Maghrib) tiba-tiba pundak (bahu) kita dicolek (sebagai tanda) seseorang akan mengikuti shalat (menjadi makmum) dengan shalat kita, boleh saja dan kita tidak usah (tidak perlu) memberi kode dengan cara menghentakkan tangan kanan kita. Wallahu a’lam bishawaab!.



9. Makmum tidak boleh mengikuti Imam jika Wudhu Imam tersebut sudah batal atau berhadast, seperti Imam yang buang angin (kentut) atau Imamnya bukan orang Islam.

10. Makmum yang datang terlambat atau masbuk sementara Imam sudah rukuk atau sujud, maka makmum masbuk membaca takbiratul ihram dengan niat mengikuti Imam.

Selanjutnya makmum masbuk mengikuti apa yang sedang dikerjakan oleh Imam. Jika Imam sudah duduk tawaruk (bersimpuh) waktu bertasyahud atau duduk Iftirasy makmum mengikutinya tanpa membaca Al-Fatihah sebab bacaan Al-Fatihah bagi makmum masbuk sudah ditanggung oleh Imam.

• Perhatikan Sabda Rasulullah SAW :

”Jikalau kamu datang untuk shalat dan kami sedang sujud maka sujudlah, tetapi jangan dimasukkan hitungan. Barangsiapa yang mendapat rukuk berarti ia mendapatkan shalat.” (HR. Abu Daud)

Saudaraku, dengan perkataan lain bahwa kalau makmum masbuk dapat mengikuti rukuk bersama-sama Imam walaupun makmum belum sempat membaca Al-Fatihah, makmum masbuk itu mendapat satu raka’at. Sebaliknya makmum masbuk kalau tertinggal rukuk bersama Imam maka apabila Imam salam, ia berdiri lagi untuk menyelesaikan raka’atnya yang tertinggal.

Sidang pembaca, ketika saya menulis artikel ini (saya beserta keluarga sedang berlibur di luar Jakarta) ada yang bertanya kepada saya (Seorang anak muda, yang belakangan saya tahu dia seorang aktivis masjid dan siswa kelas III salah satu SMU Negeri Unggulan): ”Ustad, saya mau tanya.” katanya kepada saya : ”Kasus ini baru kira-kira dua minggu lalu saya alami, saya shalat berjama’ah di Masjid dan mula-mula sih shalat berjalan baik artinya bacaan fatihah Imam bagus, bacaan suratnya bagus, tu’maninahnya juga baik bahkan rukun dan sunnat-sunnatnya shalat dikerjakan dengan baik oleh Imam di raka’at pertama. Hanya saja baru pada raka’at kedua Imam berlaku khilaf, pada waktu Imam duduk diantara dua sujud, setelah sujud kedua semestinya Imam duduk untuk tahiyat (tasyahud) awal, tetapi Imam lupa dan langsung berdiri tegak, makmum yang melihat ini spontan mengucap Subhanallah. Imam yang mendengar peringatan ini, sadar akan kesalahannya dan cepat-cepat duduk lagi untuk tahiyat (tasyahud) awal. ”Saya, Ustad.” kata anak muda itu kepada saya: ”Ketika melihat Imam yang sudah berdiri, kemudian duduk lagi saya berpendapat Imam sudah batal shalatnya dan saya munfarid (saya niat keluar dari berjama’ah, pisah dari Imam) saya shalat sendiri sampai selesai (mengucap salam) : ”Tindakan saya itu salah atau benar ustad ?

Kemudian apakah saya yang sempat mengikuti shalat bersama Imam (berjama’ah) di raka’at pertama itu masih mendapat berjama’ah (mendapat pahala 27 (dua puluh tujuh) derajat atau hanya mendapat ganjaran 1 (satu) derajat saja. Dan makmum yang mengikuti Imam dan Imam sebelum shalat melakukan sujud sahwi, bagaimana itu Ustad ?”

Saya menjawab : ”Tindakan kamu munfarid itu benar dan Imam yang keliru. Dan karena kamu sempat berjama’ah dan mendapat satu raka’at di raka’at pertama maka Allah SWT tidak menghilangkan pahala berjama’ah kamu, itu artinya kamu tetap mendapat ganjaran pahala yang 27 (dua puluh tujuh) derajat. Sedangkan shalat Imam dan makmum yang mengikuti Imam tetap tidak syah (batal) walaupun Imam melakukan sujud sahwi sekalipun dan shalat mereka harus di ulang.”

Saudaraku sesama muslim, sidang pembaca yang terhormat. Kenapa saya membenarkan tindakan anak muda itu ? Dan kenapa saya mengatakan Imam yang keliru dan shalat mereka tidak syah (batal) dan mereka harus mengulang shalat? Sidang pembaca, didalam shalat ada syarat, rukun dan ada sunnat-sunnat shalat yaitu sunnat Ab’adl dan sunnat Hai’at. Kasus anak muda tadi, berdiri tegak didalam shalat fardhu adalah rukun sedangkan duduk Iftirasy untuk tasyahud awal hukumnya adalah sunnat Hai’at. Jadi Imam dalam kasus ini sudah mendahulukan yang sunnat daripada yang rukun dan menjadilah shalatnya batal dan meskipun Imam melakukan sujud sahwi, tetap shalatnya tidak syah dan harus diulang shalatnya. Tinggal lagi bagaimana cara memberitahukannya itu (kepada Imam dan makmum) memang memerlukan kebijaksanaan serta kearifan agar tidak menimbulkan kegaduhan (fitnah). Yang utama harus diberitahukan kepada mereka apapun resikonya, sesuai ajaran agama : Sampaikan yang hak walaupun pahit.
10
Saudaraku, sampai disini saya sudahi dakwah saya (lewat tulisan) semoga bermanfaat, terima kasih atas segala perhatian dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Wa’afwa minkum wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

• • •
(Bahan-bahan (materi) diambil dan dikutip dari Pendidikan Agama Islam oleh: Drs. Ahmad Syafi’i Mufid, M.A.Dkk., dari buku Catatan Taklim Penulis dan buku Risalah Tuntunan Shalat Lengkap oleh: Drs. Moh. Rifai.)
• • •
* Tulisan (artikel) Religius ini dapat anda temukan pada website H. Sunaryo A.Y. dengan alamat :
http://hajisunaryo.co.nr

299


TATACARA ADZAN DAN IQAMAH SERTA TATA CARA SHALAT JAMAAH

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

"ICT Pembelajaran”

Oleh:

Umi Salamah : D01208089

Dosen:

Taufiq. S.Ag, M.Pd.I

­FAKULTAS TARBIYAH

JURUSAN PENDIDIAKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2010

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

SEKOLAH : Mts

MATA PELAJARAN : PAI

KELAS/SEMESTER : VII

PERTEMUAN KE : 1-6

ALOKASI WAKTU : 45 dalam 1 pertemuan

STANDAR KOMPETENSI : Melaksanakan tatacara azan, iqamah ,salat jamaah

KOMPETENSI DASAR : 1. Menjelaskan ketentuan azan dan iqamah

2. Menjelaskan ketentuan salat berjamaah

3. Menjelaskan ketentuan makmum masbuk

4. Menjelaskan cara mengingatkan imam yang lupa

5. Menjelaskan cara mengingatkan imam yang batal

6. Mempraktikkan azan, iqamah, dan salat jamaah

INDIKATOR : 1. Menjelaskan ketentuan azan dan iqamah

2. Menjelaskan asal muasal adzan dan iqamat

3. Menjelaskan adzab adzan

4. Membaca doa setelahAdzan

5. Tata cara shalat berjama'ah

6. Menyebutkan syarat syah menjadi imam.

7. Membedakan imam da ma’mum masbuq

8. Menyebutkan cara memberi tahu imam yang salah

9. Menyebutkan shalat berjamaah.

I. TUJUAN PEMBELAJARAN :

Setelah selesai kegiatan pembelajaran, siswa dapat:

1. Menjelaskan dan menguraikan peralatan yang dibutuhkan untuk pengelolaan Menjelaskan tata cara adzan dan iqamah dan menjelaskan tatacara berjamaah

II. MATERI AJAR

1. tatacara iqamah

2. tata cara shalat jamaah

III. METODE PEMBELAJARAN

1. Ceramah bervariasi

2. Tanya jawab

3. Evaluasi

IV. LANGKAH LANGKAH PEMBELAJARAN

A. KEGIATAN AWAL

1. Memeriksa kehadiran siswa dan menertibkan kelas

2. Mempelajari modul Tata cara adzan dan iqamah dan shalat berjamah” kegiatan belajar 1

3. Menjelaskan pentingnya adanya adzan dan petingnya jamaah dalam kehidupan

B. KEGIATAN INTI

1) Menjelaskan ketentuan azan dan iqamah

2) Menjelaskan asal muasal adzan dan iqamat

3) Menjelaskan adzab adzan

4) Membaca doa setelahAdzan

5) Menjelaskan tata cara shalat berjama'ah

6) Menyebutkan syarat syah menjadi imam.

7) Membedakan imam da ma’mum masbuq

8) Menyebutkan cara memberi tahu imam yang salah

9) Menyebutkan shalat berjamaah.

C. KEGIATAN AKHIR

Menyimpulkan kembali apa yang telah dijelaskan dan memberi kesempatan pada siswa untuk bertanya materi yang belum di mengerti

V. ALAT DAN SUMBER BELAJAR

1. Buku panduan sembahyang lengkap

2. Donlowd Internet

PENILAIAN

A. Tes Tertulis

1. Jelaskan pengertian adzan dan iqamah?

2. Sebutkan doa apa saja yang akan dibaca setelah adzan dan iqamah?

3. Bagaimanakah tata cara berjamaah?

4. Jelaskan pengertian shalat jamaah?

5. Bagaimana cara cara mengingatkan imam yang salah?

KRITERIA PENILAIAN

Tidak di jawab : 0

Jawaban setengah benar : 10

Jawaban mendekati benar : 15

Jawaban benar : 20

MENGETAHUI SURABAYA,.........JULI 2010

KEPALA SEKOLAH GURU MATA PELAJARAN

Dra.Hj.Tatik Kustini, MM. Dra.Sulistijorini

NIP. 131 699 507 NIP. 131 604 371